Al-Akhlâq al-Mahmûdah wa al-Madzmûmah

Al-Akhlâq al-Mahmûdah wa al-Madzmûmah
(Akhlak Terpuji dan Tercela)

Rasulullah s.a.w. bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sungguh aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak)”. (HR al-Baihaqi dari Abu Hurairah)

Sehingga bisa dikatakan bahwa inti risalah yang dibawa Rasulullah ini adalah menyempurnakan akhlak manusia. Sehingga kalau kita analisa lebih mendalam tentang seluruh ajaran Rasulullah s.a.w. yang disebut syari’at Islam, baik zhahir maupun bathin adalah suatu proses tahdzîbul akhlâq (perbaikan akhlak) manusia sehingga menjadi mu’min, muslim, muhsin, kâffah. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 208:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”

Akhlak menurut Syekh Ibnu Miskawaih, dalam kitabnya Tahdzîbul Akhlâq, beliau nyatakan bahwa:
الأَخْلاَقُ هِيَ هَيْئَةُ النَّفْسِ رَاسِخَةٌ تَصْدُرٌ عَنْهَا الْأَفْعَالِ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَ رُوِيَّةٍ
“Al-akhlâq hiya haiatun nafsi râsikhatun tashduru ‘anhâ al-af’âl bi suhûlatin wa yusrin  min ghairi hâjatin ilâ fikrin wa ruwiyattin (akhlak adalah sikap mental yang mengeluarkan aktivitas [perbuatan] dengan [cara] mudah dan tanpa berfikir panjang).”

Sikap mental kita yang terealisasikan dalam aktivitas kita sehari-hari sebagai cermin dari mental kita dalam kehidupan kita. Inilah yang disebut akhalak, sehingga akhlak bisa dinilai baik atau buruk, atau istilah lain para ahli akhlak menyebutkan akhlak mahmudah (terpuji) dan akhlak madzmumah (tercela).
Sikap mental inilah yang kemudian benar-benar menjadi pegangan kita bahwa inilah yang sebetulnya disebut akhlak, sikap mental kita, bukan semata-mata perbuatan kita. Sehingga ada perbuatan yang akhlaqiy, adalah perbuatan yang menjadi cermin dari pribadi diri seseorang, apakah itu baik, ataupun buruk.

Akhlak terpuji dan tercela ini mungkin menjadi kabur menurut pemahaman kita, karena standart baik dan buruk itu relatif. Ada yang memahami dengan standart agama, standart sosial, standart lingkungan atau komunitas tertentu, atau trend zaman tertentu, maka orang akan menyebut baik pada waktu tertentu, mungkin buruk pada waktu yang lain. Baik pada tempat tertentu belum tentu baik di tempat lain. Adapun terpuji (mahmudah) menurut agama kita adalah sesuatu yang oleh syariat agama kita dinyatakan baik dan dipuji oleh Allah dan RasulNya. Setidaknya menurut syariat dhohir agama kita, bahwa pelaksanaan aktivitas tertentu itu adalah sesuai ataupun minimal tidak bertentangan dengan apa yang dipraktekkan oleh Rasulullah s.a.w.  dan para shahabatnya. Tetapi yang lebih penting dalam rangka peningkatan akhlak kita sebagai seorang mukmin, maka yang disebut terpuji ini adalah terpuji yang memenuhi standart syariat batin dari agama kita yang disebut dengan ihsan. Ihsan sebagaimana disabdakan Rasululah s.a.w.: “an ta’budallâh kaannaka tarâhu, fain lam takun tarâhu, fainnahu yarâka (sesuatu aktivitas yang mengindikasikan sebagai presentasi penghambaan kita kepada Allah yang seolah-olah — ketika kita lakukan aktivitas itu — kita tengah melihat Allah, Allah hudhûr (seolah-olah hadir) di hadapan kita, kita betul-betul dalam seperti dalam keadaan berdialog dengan Allah dalam setiap peribadatan kita, kalau tidak bisa seperti itu, maka minimal seakan-akan (kita) dipantau oleh Allah). Kalau kita sudah bisa berbuat betul-betul karena Allah, dalam kondisi seolah-olah berhadapan dengan Allah, seolah-olah yang kita hadapi adalah Allah, maka inilah yang disebut dengan seorang muhsin (baik menurut Allah) dan inilah kebaikan yang mutlak. Atau setidaknya dengan standar zhahir, bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dan para shahabatnya, atau minimal tidak bertentangan.
Ada satu contoh akhlak mahmudah yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w..

Rasulullah s.a.w.  bersabda dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah r.a.:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka mulyakanlah tamunya.”
Jadi bentuk penghormatan kepada tamu kita, yang menjadi cermin dari citra diri kita, sehingga setiap tamu tahu dan bersaksi bahwa kita ahli hormat tamu, maka berarti kita telah melaksanakan akhlak yang terpuji menurut Rasulullah s.a.w.. Kalau kita kupas secara mendalam, betapa pentingnya kita menghormat tamu, dan betapa banyak fadhilahnya orang yang menghormat tamu, maka Rasulullah s.a.w.  menyampaikan yang benar adanya dan dikaitkan dengan keimanan seseorang.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berbuat baik kepada tetangganya.”
Ini juga merupakan citra diri kita, dan tetangga akan bersaksi bahwa kita merupakan tetangga yang baik dan menghormati mereka maka kita telah memiliki akhak yang mulia yang berupa perbuatan baik kepada tetangga.
Dan kalau kita menyibak bagaimana rahasia berbuat baik terhadap tetangga, maka pasti pada saatnya kita akan mengatakan bahwa benar adanya yang disabdakan Rasulullah s.a.w.  ini.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya berkata baik atau kalau tidak bisa hendaknya diam.”
Khair adalah sebuah istilah yang meliputi perbuatan baik dan benar. Sehingga kalau kita disaksikan masyarakat bahwa kita adalah ahli berkata jujur dan benar dan ahli menyenangkan orang, maka kita telah memiliki akhlak yang terpuji. Rasulullah s.a.w.  juga memberi ultimatum dalam kehidupan kemasyarakatan, sebagai akhlak yang harus kita hindari, karena siapapun yang berakal sehat, bahkan orang yang paling tercelapun akan mengatakan bahwa perbuatan ini tercela, dan dia tidak suka walaupun dia adalah ahlinya.

Rasulullah s.a.w. bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat hal yang barang siapa melakukan tiga hal ini, maka dia adalah munafiq. Barangsiapa yang telah benar-benar berlepas diri dari keempat sifat tersebut, maka dia telah terlepas dari predikat munafiq. Pertama, apabila dia berkata, berdusta. Kedua, kalau dia berjanji, mengingkari. Ketiga, apabila dia diamanati, berkhianat. Keempat, kalau dia bertengkar, curang.” (HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Keempat hal inilah yang harus kita hindari terus, karena ini adalah suatu perbuatan yang tercela.
Menurut siapapun yang dihadapi. Seperti seorang pembohong pun kalau dibohongi dia tidak akan mau, dan dia pasti akan mencari orang yang jujur. Siapa pun juga tidak akan suka kalau diingkari janjinya, walaupun dia pengingkar janji yang paling ulung. Dan tidak ada seorang penghianat pun yang suka untuk dikhianati. Dan siapa pun tidak akan pernah ada yang bersedia dicurangi, apalagi dalam sebuah kehidupan kompetitif yang sangat ketat seperti saat ini.

Demikian, semoga kita bisa memiliki sifat mahmudah (baik), dan terhindar dari sifat madzmumah (jelek).
Âmîn.

0 komentar :