Tasawuf dalam 1 tubuh [eps.2]



SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF: KONTAK KEBUDAYAAN HINDU, PERSIA, YUNANI, DAN ARAB ?

A. UNSUR NASRANI (KRISTEN)
Bagi mereka yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumentasinya pada dua hal: pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliah maupun zaman islam. kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di Padang Pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah yang lewat. Kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman, dan mereka memberikan makanan bagi musafir yang kelaparan. Atas dasar hal ini, ada yang mengatakan bahwa zahid dan sufi Islam ketika meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, serta dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
Pokok-pokok ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
1. Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Beruntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah... Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang”.
2. Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatakan dalam Injil, “perhatikan burung-burung di langit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi kekuatan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?”
3. Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan dosa.
4. Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan.
5. Penyaksian, bahwa sufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan.
B. UNSUR HINDU-BUDHA
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Namun, Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalu diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.


C. UNSUR YUNANI
Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. Dikalangan penerjemah ternama, terdapat seorang tabib Nestori (Kristen) bernama Jurjis bin Bakhtisy (George Bakhtishu, wafat 771 M). Khalifah Al-Mansur mengundangnya ke Yundi Shapur untuk dijadikan tabib pribadinya. Di samping jabatan itu, ia juga aktif dalam kegiatan penerjemahan.
Dengan kegiatan penerjemahan, banyak buku-buku filsafat, di samping buku-buku lainnya, yang dipelajari umat islam. ini dapat diartikan sebagai proses pengenalan umat Islam pada metode berpikir yang filosofis. Metode-metode berpikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.
Apabila diperhatikan, cara kerja filsafat adalah mengukur segala sesuatu menurut akal pikiran. Namun, dengan munculnya filsafat aliran Neo-Platinisme, filsafat lebih menjauhi wewenang akal dan mulai menyentuh hal yang lebih metafisik atau supra-natural, terutama dalam persoalan pengenalan diri manusia di hadapan Tuhan. Ungkapan Neo-Platoisme, misalnya, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Hal ini bisa jadi mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak dapat diasingkan lagi bahwa cara berpikir kelompok Neo-Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat. 


D. UNSUR PERSIA
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).
Seorang orientalis moderat, Reynold A. Nicholoson, menolak adanya generalisasi yang menganggap bahwa tasawuf sebenarnya merupakan bentuk reaksi pemikiran Arya terhadap agama Semit, yang hasilnya adalah adanya pemikiran India atau Persia. Pernyataan semacam ini, walaupun benar sebagiannya, telah mengabaikan prinsip bahwa dalam menetapkan kaitan historis antara fakta-fakta A dan B tidaklah cukup dengan mengemukakan kesesuaiannya antara satu dengan lainnya, tanpa menunjukkan:
1. Hubungan nyata antara B dengan A sedemikian rupa, sehingga memiliki kemungkinan keterkaitan, dan;
2. Hipotesis yang mungkin bersesuaian dengan fakta-fakta yang diperoleh dan yang relevan.
Nicholoson menambahkan, apabila sufisme hanyalah sebuah revolusi dari semangat Arya, bagaimana kita dapat menjelaskan fakta yang tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar perintis terkemuka dari mistik Islam ini adalah orang-orang yang berasal dari Syria dan Mesir, yang secara ras adalah orang-orang Arab?
Demikian pula, orang yang mengemukakan adanya pengaruh agama Budha dan Hindu, ia melupakan satu fakta penting bahwa pengaruh (budaya) India terhadap peradaban Islam baru terjadi agak belakangan, yakni tatkala Ilmu Kalam (teologi), filsafat, dan sains di kalangan umat Islam telah berhasil menunjukkan keunggulannya ketika lahan budaya yang ada telah jenuh dengan budaya Hellenistik.


E. UNSUR ARAB
Selama masa Rasulullah hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktek ibadah tasawuf. Pada tahun 657 M, ‘Uways Al-Qaranini (wafat 657 M) mengadakan pertemuan besar pertama kaum sufi. Untuk mengenang dan menghormati Nabi Muhammad yang kehilangan dua buah giginya di Perang Uhud, ia mencabut giginya sendiri dan mengajak segenap pengikutnya untuk melakukan hal serupa.
Untuk melihat sejarah tasawuf, perlu ditinjau perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah. Hal ini karena pada hakekatnya kehidupan rohani telah ada pada diri beliau sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan upayanya untuk menghindari bentuk-bentuk kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang. Ini tergambar dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya yang berada dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadis dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.
Dalam perjalanan sejarahnya, benih-benih tasawuf mulai mengkristal dan mulai terlihat pada seorang tabi’in bernama Hasan Al-Bashri yang benar-benar mempraktekkannya. Di masa hidupnya, ia terkenal sebagai orang yang berpegang teguh pada Sunah Rasul dalam menilai setiap masalah rohaniah. Ia mendasarkan pikirannya pada rasa “takut” kepada Allah, tetapi tidak terlepas dari rasa “harap” atas kasih Allah, sehingga keseimbangan antara sikap takut dan harap selalu terwujud. Dengan istilah lain, Hasan Al-Bashri berpegang teguh pada khauf dan raja’. Khauf dan raja’ inilah yang pada perkembangan selanjutnya menjadi salah satu ajaran dalam tasawuf.

0 komentar :