DINASTI BUWAIHI

A.      Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah panjang umat Islam, banyak nama tokoh-tokoh penting yang mampu membawa agama Islam pada kemajuan peradaban. Agama Islam menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang pada masa tersebut belum ada kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat syiar dan perluasan wilayah yang tengah dilakukan oleh umat Islam.

Menurut para pakar sejarah Islam, Daulah Abbasiyyah (750-1258 M) telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian dan filsafat. Data monumental dari kebesaran Daulat Abbasiyyah, yaitu berdirinya kota Baghdad yang megah, kota yang didirikan atas prakarsa raja-raja dinasti ini. Menurut Philip K. Hitti, kota Baghdad merupakan kota terindah yang dialiri sungai dan benteng-benteng yang kuat serta pertahanan militer yang cukup kuat. Sekalipun demikian, dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negerinya, karena setelah khalifah Harun al-Rasyid, daerah kekuasaan dinasti ini mulai goyah, baik daerah yang ada di bagian barat maupun yang ada dibagian timur Bagdad. Di bagian timur, menurut J.J Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil, yaitu Thahiriyah, Saffariah, dan Samaniyah.

Setelah itu, di daerah Baghdad juga tumbuh dinasti yang berkembang dengan pesat dibawah pimpinan seorang amir al-umara. Dinasti tersebut adalah dinasti Buwaihi dan dinasti Saljuk. Masa ini dinamakan masa pengaruh Persi II dengan menganut aliran Syiah dan bisa dimasukkan dalam periode ketiga masa kerajaan Abbasiyah. Masa Abbasiyah merupakan masa kekuasaan dinasti yang cukup lama. Maka dari itu, untuk dapat melihat kekuasaan dan perkembangannya secara jelas, tidak dapat digenelarisir dengan mudah. Penulis membagi periode Abbasiyah tersebut menjadi 5 periode. Periode I, dapat dikatakan sebagai periode pengaruh Persia I. Periode II, yaitu periode pengaruh Turki I. Periode III, yaitu periode pengaruh Persia II atau disebut juga periode Buwaihi. Periode IV, yaitu periode pengaruh Turki II atau disebut periode Saljuk. Periode V, yaitu periode dimana Khalifah hanya berkuasa di daerah Baghdad saja, dan khalifah tidak mempunyai kekuasaan.

 Pada masa kekuasaan dinasti Buwaihi ini, khalifah hanya merupakan symbol persatuan, sedangkan roda pemerintahan dipegang oleh amir al-umara atau perdana menteri. Khalifah hanya menjadi boneka dan tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintah kerajaan. Amir al-Umara berkuasa penuh atas pemerintahan bahkan menentukan kebijakan yang menguntungkan kerajaan. Satu hal yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana sebenarnya kronologis terjadinya dinasti Buwaihi tersebut, sampai-sampai mampu memerintah melebihi seorang Khalifah.

B.     Sejarah Berdirinya Dinasti Buwaihi

Dinasti ini berdiri dan menunjukkan eksistensinya pasca dinasti Saljuk. Ada beberapa riwayat tentang asal usul dinasti Buwaihi. Pertama, Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi. Kedua, Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab. Ketiga, Buwaihi adalah keturunan raja Persia. Keempat, Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup di negeri Dailam. Negeri yang terletak di Barat daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab. Nampaknya pendapat keempat ini yang dianggap mendekati kebenaran.

Periode Buwaihi dimulai pada tahun 320H/932 M sampai tahun 447 H/1055 M. masyarakat Buwaihi merupakan suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan laut Kaspia. Profesi mereka yang terkenal adalah sebagai tentara, khususnya infantri bayaran. Mereka adalah penganut syiah yang dikenal kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi. Perkenalan mereka dengan syiah diawali dengan pengungsian golongan ‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani Abbasyiyah pada tahun 791 M. Al-Hasan ibn Zaid seorang kalangan ‘Aliyyah menyebarkan syiah di wilayah Dailam dan mendirikan sebuah kerajaan ‘Aliyyah yang independent di Dailam dan Jilan. Al-Hasan ibn Zaid kemudian digantikan oleh saudaranya Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Zaid.
Kehadiran bani Buwaihi berawal dari tiga orang putra Abu Ayuja Buwaihi yang berprofesi sebagai pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu:
  1. ‘Ali ibn Buwayh yang oleh Khalifah al-Mustakfi digelar sebagai ‘Imad al-Daulah.
  2. Hasan ibn Buwaihi bergelar Rukn al-Daulah.
  3. Ahmad ibn Buwaihi bergelar Mu’iz al-Daulah.
Sejarah mencatat bahwa Mardawij ibn Ziyar al-Jilli pendiri dinasti Ziyariyah, di Thabaristan dan Jurjan, bersekutu dengan Buwaihi. Persekutuan ini dimungkinkan karena Mardawij memiliki rasa kepersiaan yang kuat sedangkan kalangan Buwaihi sendiri, khususnya Rukn al-Daulah sangat terpengaruh dengan gagasan kepersiaannya. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaihi bermula.

Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Sayangnya dalam perkembangan selanjutnya Mardawij mengandalkan pasukannya yang berkebangsaan Turki dalam kemiliteran, yang akhirnya pada tahun 935 M ia dibunuh oleh anggota pasukannya sendiri. Dengan kematian Mardawij, kalangan Buwaihi kemudian menyebar dan menyusun pasukan militernya sendiri sehingga mereka menjadi kuat dan akhirnya berhasil memiliki kekuasaan di Fars, Kirman, dan Khuzistan. Seiring dengan ini, kekuatan politik Khalifah Abbasyiyah menurun tajam dan praktis kekuasaan politik yang riil berada di tangan panglima tertinggi (amir al-umara’).

Sepeninggal Mardawij, bani Buwaihi yang bermarkas di Syiraz dan berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia, seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasyiyah al-Radi Billah dan mengirim sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sini, tentara Buwaihi menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perbuatan jabatan amir al-umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tahun 945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi amir al-umara, penguasa politik negara dengan gelar Mu’iz al-Daulah. Saudaranya Ali yang memerintah bagian selatan dengan pusatnya di Syiraz, diberikan gelar Imad al-Daulah dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaihi.

Saat pemerintahan berada di tangan khalifah al-Radi, kendali atas politik dan keamanan secara efektif berada di tangan panglima tertinggi. Sejarah mencatat bahwa panglima tertinggi dijabat oleh orang yang silih berganti. Pada saat jabatan ini dipangku oleh Ahmad ibn Buwaihi, peletakan dasar dan pembangunan kekuasaannya dilakukan di daerah Ahwaz, Bashrah dan Wasith dan melakukan persekutuan dengan pihak luar, yakni Baridiyah dan Hamdaniyah. Kendali panglima tertinggi atas pemerintahan begitu kuat, sehingga pengangkatan dan pemberhentian khalifah juga berada di tangan mereka. Dari penjelasan di atas, menurut pengamatan penulis terdapat berbagai faktor yang mendukung kemunculan dinasti Buwaihi, antara lain:
  • Kekuasaan khalifah telah melemah dan mengandalkan panglima perangnya. Dengan demikian, Irak berada di bawah kendali amir al-umara. (1) 
  • Perpecahan dalam kerajaan Abbasyiyah. Pada tahun 935 M, kerajaan Islam yang berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasyiyah terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.(2)  
  • Kemewahan hidup melanda para pembesar kerajaan.(3)
  •  Perselisihan di masyarakat ibukota Baghdad.(4)
  •  
C.     Amir al-Umara sertaWazir-Wazir Dinasti Buwaihi

Di zaman Bani Buwaihi, para khalifah tidak mempunyai wazir, tetapi mempunyai khatib yang mengurusi harta miliknya saja. Abdul Faraz al-Samari ialah khatib khalifah al-Mustakfi sebelum kedatangan Bani Buwaihi ke Baghdad. Ia hanya memegang jabatan selama 24 hari saja. Kemudian digantikan oleh Abu Abdullah bin Abu Sulaiman yang menguruskan hal ihwal pribadi khalifah.
Sementara itu, pada masa dinasti Buwaihi, wazir dimiliki oleh amir al-umara. Maka bani Buwaihi telah melantik wazir-wazir yang turut sama mengikuti beban pemerintahan, dan diantara wazir-wazir tersebut yang termasyhur ialah:

Wazir
Amir al-Umara’
’Abad bin Abbas (Bapak kepada al-Sahib bin ’Abad) Ibn al-Amid: Abu al-Fadhl Muhammad bin al-Husain
Amak Ibn al-Amid: Abu al-Fahd bin Muhammad
Rukn al-Daulah (Hasan ibn Buwaihiyah)
Al-Hasan bin Muhammad bin Harun al-Muhallabi Al-Abbas bin Hasan al-Syairazi Mu’iz al-Daulah (Ahmad ibn Buwaihiyah)
Al-Abbas bin Hasan al-Syairazi Abu Tahir Muhammad bin Baqiyah Izz al-Daulah (’Ali ibn Buwaihiyah)
Nasir bin Harun (beragama masehi) Al-Hud al-Daulah
Al-Sahib bin ’Abbas Mu’ayyid al-Daulah

Demikianlah wazir-wazir yang telah dilantik dan dipunyai oleh para amir al-umara dinasti Buwaihi. Mereka merupakan pelaksana kebijakan yang dikeluarkan oleh amir al-umara tersebut. Jadi mereka ibarat asisten bagi amir al-umara tersebut.

D.     Perkembangan Dinasti Buwaihi

Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama dipegang oleh Mu’iz al-Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan khalifah sangat terbatas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan kekhalifahan. Keberadaan khalifah hanya sebagai simbol untuk mendapat simpati publik. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung pada keabsahan khalifah.
Pada masa ini mulai diperbaiki kerusakan-kerusakan yang diderita Baghdad dari kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan memulihkan situasi ini, al-Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan kepada Mu’iz dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam.
Mu’iz menurunkan al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan al-Muti’ yang memang sebelumnya telah menjadi saingan al-Mustakfi. Tindakan ini lebih didasari atas keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal ini al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu’iz. Mu’iz memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudaranya di timur memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 932 M, suatu usaha dari kaum Qaramithah dan Omami untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara Buwaihi.

Pada pemerintahan Adud al-Daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah kekuasaan Irak, Persia selatan dan Oman. Dinasti Buwaihi periode ini telah menjalankan suatu kebijakan yang sangat ekspasionis, di Barat terhadap Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyah Thabaristan, Samaniyah Khurasan. Pada pemerintahan Adud al-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa keemasan, sebagai pusat pemerintahan Baghdad, Adud al-Daulah berhasil mempersatukan semua penguasa Buwaihiyah.

Pemerintahan Adud al-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu. Bahkan pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunakan juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.

Sebagai penganut Syi’ah Dua belas, dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syiah. Kendati mereka berbuat demikian, Khalifah Abbasyiyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi Umat Islam. Di antara tindakan penguasa Buwaihi yang menguntungkan kelompok syiah adalah pengadaan upacara keagamaan syiah secara publik, pendirian pusat-pusat pengajaran syiah di berbagai kota, termasuk Baghdad dan pemberian dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syiah. Memang masa kekuasaan dinasti Buwaihi adalah bersamaan dengan bermulanya masa “ketidakhadiran agung” (al-ghaibah al-kubra) Imam ke 12. Dan saat itu pula, terjadi kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab syiah.

Periode Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Para pemikir penting, di samping pakar-pakar teori Syiah, sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibn Sina, seorang filosof dan dokter diberi kepercayaan menjadi wazir oleh Samsy al-Daulah yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula serentetan penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, upamanya Ibn Nadhim, seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris, ibn Maskawaih, seorang filosof-sejarawan menulis Tajarib al-Umam, Abu al-Farah al-Isfahani, seorang sejarawan-sastrawan menulis al-Agani, dan Abu al-Wafa al-Nasawi, pakar matematik, memperkenalkan sistem angka India ke dalam Islam. Di samping itu, berbagai aktivitas ilmiah dan kemanusiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan rumah-rumah sakit di berbagai kota.

Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kerusakan, berupa melakukan perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Mu’iz pertama kali berkuasa. Pemerintahan Adud didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer. Staf pemerintahan pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat negara dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi iqtha’, yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengadian militer dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat.

E.     Peristiwa Penting Pada Masa Dinasti Buwaihi

Selama masa pemerintahan dinasti Buwaihi tercatat beberapa peristiwa penting, yaitu:
  1. Baghdad dan Siraz; kedudukan Baghdad sebagai ibukota dari segi politik dan agama. Di zaman dinasti Buwaihi, Baghdad telah kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imad al-Daulah. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkna perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari dinasti Buwaihi. Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini dinikmati oleh khalifah.
  2. Ikhwanus Shafa. Di zaman ini muncul kumpulan Ikhwanus Shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmah yang dikatakan bersumber dari mereka.
  3. Negeri-negeri yang memisahkan diri. Semasa berada di puncak kekuasaan, dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasyiyah. Tetapi ketika kekuasaan dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula dari kerajaan yang memisahkan diri dari pemerintahan khalifah Abbasyiyah, diantaranya kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
  4. Perselisihan madzhab; ajaran Islam tiba di Dailam melalui kaum Syiah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid, kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika itu beraliran sunni. Terlebih ketika khalifah al-Qadir berusaha menentang faham syiah.
F.      Kemunduran Dinasti Buwaihi

Setelah mengalami masa kejayaan, maka akhirnya dinasti Buwaihi mengalami kemunduran. Kemunduran dinasti Buwaihi disebabkan berbagai faktor sebagai berikut:
  1. Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.
  2. Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan dinasti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
  3. Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti Buwaihi adalah penyebar madhzab syiah yang sungguh bersemangat, dibalik kebanyakan rakyak Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud al-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan khalifah al-Qadir yang mengepalai pertempuran sunni melawan syiah dan berusaha mengorganisir sebuah misi sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia menjadikan Hanbalisme sebagai madzhab muslim yang resmi.
  4. Kekalahan yang telak dari Bani Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan dinasti Buwaihi ke tangan Tugril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan dinasti Buwaihi.
Bagaimanapun keberhasilan dinasti Buwaihi memang tidak bertahan lama. Sejak kematian Adud al-Daulah pada tahun 983M, keutuhan keluarga Buwaihi terus mengalami erosi dan perpecahan. Ide kerjasama yang dikembangkan generasi pertama rupanya tidak mengakar, cabang-cabang keluarga tidak puas dengan otonomi yang dinikmati bahkan ada yang menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Buwaihi. Mungkin tandensi demikian merupakan perkembangan natural dari upaya-upaya individu Buwaihi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal. Misalnya pada perempat akhir abad ke-10, dinasti Fatimiyah muncul sebagai ancaman langsung terhadap pengaruh Buwaihi di Barat dan Selatan. Di Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian Ghaznawiyah dan Qaramithah.

Juga posisi wilayah Buwaihi yang strategis bagi perdagangan antara timur dan Barat serta selatan dan utara, kemudian telah dilemahkan oleh politik perdagangan fatimiyah yang agresif lewat laut merah. Peranan teluk Persia yang pernah dominan menjadi semakin pudar. Kurang berkembangnya pertanian akibat sistem perpajakan yang tidak efisien dan eksploitatif, serta turunnya volume perdagangan jelas melemahkan sistem ekonomi dinasti Buwaihi.

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I >> KLICK<<

REFERENSI

Beik, Muhammad Khudori, Tarikh al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Hanbal, Ahmad ibn, Musnad Ahmad, juz 40, Mauqi’u al-Islam: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, 2005.
Hitti, Philip K., History of Arabs, terj., Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Hitti, Philip K., History of the Arabs, London: The Macillan Press LTD, 1974.
Kraemer, Joel L., Renaisance Islam, terj. Asep Saefullah, Bandung: Mizan, 2003.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Saefudin, Didin, Zaman Keemasan Islam, Jakarta: PT Grasindo, 2002.
Saunders, J.J., A. History Of Mediveal Islam, London: Rotledge and Kegan Paul, 1965.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya,Jakarta: Pustaka al-Husna, 1997.
Watt, Motgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

0 komentar :