Tasawuf dalam 1 tubuh [Eps.4]



HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA

A. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA
Ilmu Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan.
Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara itu, pada Ilmu Tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenteraman, serta upaya untuk menyelamatkan diri dari kemunafikan.
B. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH
Ilmu tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Alsannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
C. KETERKAITAN ILMU TASAWUF DENGAN FILSAFAT
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
D. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU JIWA (TRANSPERSONAL PSIKOLOGI)
Dalam pandangan akum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, perilaku yang tampiladalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah perilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual atau kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (Psikologi).

TASAWUF AKHLAKI

Menurut Amin Syukur, ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Berikut ini adalah contoh sufi beserta ajarannya yang termasuk dalam aliran tasawuf akhlaki.

A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M), dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M).
2. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh kebesaran jiwa akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya itu. Sikap itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.

B. AL-MUHASIBI: PANDANGAN TASAWUFNYA
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah.
1. Pandangan Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:
a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada tahap ketiga ini Allah menyingkap khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh, berhak mengharap pahala dari Allah.

C. AL-QUSYAIRI
1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi.
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 di Istiwa. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (w. 405 H). Dari situlah Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh dari aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah.
Menurut Ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan akidah. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah.
Tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Dalam hal ini jelas bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang beralifiasi pada aliran yang sama, yaitu Al-Asy’ariyyah, yang nantinya merujuk pada gagasan Al-Qusyairi itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun Al-Junaidi, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan yang ganjil.

D. AL-GHAZALI
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Al-Ghazali dilahirkan di Ghazlah, Iran pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dengan demikian, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil. Karya-karya itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh.
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syiah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain.
Corak tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya ‘Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah)
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana telah dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Kenikmatan qalb –sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung dan mulia.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati karena qalb dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

TASAWUF IRFANI

A. RABIAH AL-ADAWIAH
1. Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyah.
Nama lengkap Rabi’ah Al-Adawiyah adalah Rabi’ah bin Ismail Al- Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan dekat Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 801 M.
Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiyah dan Al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah.
2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Untuk memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rani’ah yaitu hub Al-hawa dan hub anta ahl lahu. Hub Al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Hub Al-hawa yang ditunjukkan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.

B. DZU AL-NUN AL-MISHRI
1. Riwayat Hidup Dzun Al-Mishri
Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim pada tahun 180 H/ 796 M dan wafat pada tahun 246 H/ 856 M. Jilukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu Al-Mishri
Pengertian Ma’rifat Menurut Dzu Al-Nun Al-Mishri, Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Al-Mishri menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi
3. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Menurutnya tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW.

C. ABU YAZID AL-BUSTAMI
1. Riayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. nama kecilnya adalah Taifur.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
2. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.

D. ABU MANSHUR AL-HALLAJ
1. Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, Persia pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz.
Ucapan Al-Hallaj “ana al-haqq” yang tidak dapat dimaafkan para ulama fiqih dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hajj dihukum gantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Namun sebelum dipancung, ia meminta shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Dan akhirnya Al-Hajj wafat pada tahun 922 M.
2. Ajaran Tasawuf Al-Hajj
Diantara ajaran tasawuf Al-Hajj yang paling terkenal adalah Al-hulul dan wahdat Asy-syuhud. Kata Al-hulul berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, Al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Persatuan antara Tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Dengan demikian, agar dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.

TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Iaslam sejak abad ke-6 H meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Menurut beliau, ciri umum tasawuf tasawuf adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada pantheisme.
Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn’Masarrah.

A. IBN ARABI
1. Biografi Singkat
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Namanya biasa disebut “Al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Seville (Seville), ia mempelajari Al-Qur’an, hadist serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hamz Al-Zhahiri.
Ketika berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di antara gurunya tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan Al-Ghauts Al-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah(seorang wali dari kalangan wanita). Diantara karya monumentalnya adalah Al-futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji.
2. Ajaran-ajaran tasawufnya.
Ajaran sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud) namun ajaran ini berasal dari Ibnu Taimiyah. Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluki. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Menurut Ibn ‘Arabi, tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1. Tajalli Dzat tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2. Tanuzul Dzat tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitas-realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4. Tanazul tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam inderawi.

B. AL-JILLI
1. Riwayat hidup
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Beliau pernah belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir A-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (yaman) pada tahun 1393-1403 M.
2. Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran terpentingnya adalah paham Insan kamil(manusia sempurna), menurutnya insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan. Al-jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali dengan cermin itu. Demikian pula dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama tuhan, sebagaimana tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil.
Berkaitan dengan insan kamil, Al jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al- Martabah(jenjang/tingkatan). Martabah-martabahnya sebagai berikut :
1. Islam
2. Iman
3. Ash-Shalah
4. Ihsan
5. Syahadah
6. Shidduqiyah
7. Qurbah

C. IBN SAB’IN
1. Riwayat hidup
Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Beliau dipanggil Ibn Sab’in dn digelari Quthbuddin. Terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Beliau di lahirkan tahun 614 H (1217-1218 M) dikawasan Murcia dan meninggal tahun 611 H. Beliau berguru pada Ibn Dihaq. Dan beliau meninggalkan karya sebanyak 41 buah.
2. Ajaran tasawufnya
Beliau adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak.
Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud ,lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri.

D. IBN MUSARRAH
1. Riwayat hidup
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 M). Beliau adalah seorang sufi dari Andalusia.
2. Ajaran tasawufnya
Ajarannya adalah sebagai berikut :
a. Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
b. Dengan penakwilan ala philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
c. Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakekat.

0 komentar :