DINASTI SALJUK
A.
Pendahuluan
Keruntuhan
kekuasaan Abbasiyah sudah terlihat sejak awal abad ke-9. Fenomena ini muncul
bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi
yang membuat mereka benar-benar independent. Pada saat itu kekuatan militer
Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah
mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya bangsa
Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer ini dalam
perkembangan selanjutnya merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.[1]
Kemajuan
besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih
mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para
hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para
tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan
al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan
Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini
merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
Pada
awal pemerintahan Abbasiyah, sudah muncul fanastisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan / anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di
samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan
bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga
meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam
kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapuskan
fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri
dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Pada
akhirnya konflik kebangsaan dan keagamaan ini
menyebabkan dinasti Abbasiyah pecah dan banyak wilayah-wilayah bagian
yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Diantara wilayah-wilayah yang melepaskan diri adalah yang berbangsa Persia
seperti Thahiriyah di Khurasan, Syafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania,
dll. Yang berbangsa Turki seperti Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di
Turkistan, Ghaznawiyah di Afganista dan Dinasti Saljuk.[2]
Dinasti
Saljuk merupakan salah satu dinasti yang utama dari bangsa Turki dan banyak
perkembangan signifikan yang terjadi pada masa pemerintahan dinsti Saljuk ini
dan dalam makalah ini akan diuraikan sejarah peradaban Islam pada masa dinasti Saljuk.
B.
Sejarah
Pembentukan Dinasti Saljuk
Bangsa
Turki Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz.
Dinasti Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn
Tukak (Dukak).[3] Ia
merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya
menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Terdapat dua
versi tentang terbentuknya komunitas Turki Saljuk, Ibn sl-Athir sebagaimana
dikutip oleh Syafiq A. Mughni menyebutkan, ketika raja Turki yang bernama
Beighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Tukak menentangnya dan akhirnya
ia memisahkan diri dengan para pengikutnya dan membentuk suatu komunitas
terpisah dari kerajaan. Versi kedua
adalah Saljuk ibn Tukak memisahkan diri dari kerajaan bersama para pengikutnya
dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di
mulut sungai Jaihun.[4]
Bangsa
Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk
Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan
besar mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan
masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa sarjana berkebangsaan Rusia
mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam setelah mereka memeluk
agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki kemiripan
dengan nama-nama yang ada di dalam kitab Injil, yaitu Mikail, Musa, Israil, dan
Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan
mempelajari tradisi yang ada pada mereka.[5]
Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah
Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah
dengan dinasti Khaniyyah.[6]
Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan
memerdekakan diri. Ia berhasil mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh
Samaniyyah.[7]
Setelah
Saljuk bin Tukak meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn
Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan
bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar
Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti
Ghaznawiyah dipipin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah,
kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan
lemahnya kekuasaan Saljuk.[8]
Pada
periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan
Mahmud al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H / 1036 M dan
memaksanya meninggalkan daerah Khurasan, setelah keberhasilan tersebut, Thugrul
memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H / 1040 M dinasti
ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan
Thugrul Bek inilah, dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi.
Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan
Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.[9]
Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh
al-Daulah Yamin Amir al-Muminin.
Imperium
Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang:
1.
Saljuk
Agung
Setelah dipilih sebagai pemimpin imperium Saljuk, Thugril
Bek merencanakan dua hal
a.
Melakukan
konsolidasi kekuatan militer yang dianggap menentang kekuasaan saljuk
b.
Memperluas
kekuasaan
Daerah
kekuasaan Saljuk Agung meliputi Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Setelah
berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi dan menduduki singgasana kerajaan di
Naisabur di bawah pimpinan Thugrul Bek saat itulah dia dianggap sebagai Dinasti
Saljuk yang sebenarnya. Setelah menduduki jabatan sultan (1038 – 1063 M) dan
secara resmi mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah. Selama memegang
kekuasaan, Thugrul Bek menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya
dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 1050 –
1051 M ia berhasil merebut Isfahan dan menghancurkan kekuatan Daylamah di
Persia. Kemenangan Thugrul Bek lebih gemilang ketika Hamadan pada tahun 1055 M
dapat dikuasai.
Thugrul Bek herhasil memperluas wilayahnya dengan merebut
Jurjan, Thabaristan, Rayy, Qazwin dan Zunian
hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan
ibukotanya ke Rayy.
Sementara bintang kaum Saljuk mulai terang, bintang Bani
Buwaihi mula redup dan pudar. Keadaan-keadaan yang
timbul semakin mempercepat lagi kaum Saljuk tiba di Baghdad. Pada waktu itu
Baghdad mulai rusuh, kondisi politik mulai
kacau, keamanan tidak stabil akibat terjadinya perebutan kekuasaan untuk
jabatan amir al-umara. Malik ar-Rahim sebagai amir al-umara dari
Bani Buwaihi saat itu dikhianati oleh
panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri (keturunan Turki). Panglima
Turki ini telah memberontak menentang rajanya dan khalifah Abbasiyah, Serta mencoba berkuasa penuh.[10]
Al-Basasiri mencoba menjalin berbagai persekutuan, dan dari waktu ke
waktu dia berada pada posisi yang kuat. Tindakannya
yang paling penting ialah menyatakan tunduk kepada khalifah Fatimiyah di Mesir untuk menggulingkan khalifah
al-Qaim, dan sebagai imbalannya menerima sejumlah uang.[11]
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa
khalifah menandatangani
dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya
hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah al-Muntansir. Ia juga diharuskan
mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan
peninggalan-peninggalan suci lainnya.
Al-Basasiri menguasai istana selama
lebih kurang satu tahun. Untuk menghadapi permasalahan ini khalifah
al-Qaim meminta pertolongan Thugrul Bek, pemimpin Saljuk dan Thugrul Bek mengambil kesempatan yang baik ini
untuk memimpin bala tentaranya masuk
ke Baghdad pada tahun 1055 M. Pasukan Bani Saljuk berhasil mengusir
al-Basasiri dan kursi kekhalifahan diserahkan kembali kepada al-Qaim, Kemudian al-Qaim memberi gelar Yamin
Amirul Mukminin serta meletakkan
raja Malik ar-Rahim di bawah kekuasaannya, bahkan kemudian putri khalifah di
nikahi oleh Thugrul Bek dan diboyongnya ke Rayy. Thugrul Bek dengan
segera menangkap raja Malik ar-Rahim dan memenjarakannya sebagai tawanan di
Rayy sampai wafat pada tahun 1058 M dan akhirnya
Bani Saljuk bisa menguasai Baghdad.
Setahun kemudian Thugrul Bek meninggal dunia tepatnya pada
tanggal 8 Ramadhan 455 H/ 1062 M dan kursi
kekuasaannya digantikan oleh Alp-Arselan (455-465
H/ 1063-1072 M), kemenakannya yang tertua karena Thugrul Bek tidak mempunyai
anak laki-laki.
Setelah menjadi sultan Saljuk, Alp-Arselan mencoba
melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk . Ia
menjadikan kota Rayy sebagai ibu
kota kesultanan Saljuk, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer ke wilayah
Transoksania untuk mengkonsolidasi
wilayah tersebut dan berusaha memisahkan diri dibawah pimpinan
Musa Beghu, pamannya sendiri. Setelah melakukan konsolidasi internal kekuasaan Saljuk dengan menundukkan Musa Beghu dan
Quthlumisy ibn Chaghri Bek, ia mulai
melakukan ekspansi ke wilayah di luar wilayah Islam, sehingga banyak penaklukan
pada masanya dinyatakan sebagai jihad fi-sabilillah
untuk meninggikan bendera Islam.
Dalam melancarkan misi politiknya dalam rangka ekspansi
wilayah alp-Arselan menjadikan
silaturrahmi dalam bentuk perkawinan. Ia mengawinkan putranya Malik Syah dengan putri Tumghaj Khan, penguasa
kerajaan Khanniyah dan putranya
yang lain dengan putri Ibrahim al-Ghaznawi. Hal ini dilakukannya untuk
menambah kekuatannya menghadapi kekuatan Romawi.
Konfrontasi antara Saljuk dengan Romawi terjadi pada bulan
Agustus 1071 M di Manzikart. Pada pertempuran itu
dimenangkan oleh tentara Saljuk, maka dipandanglah
Dinasti Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen
kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan
itu Ramailus Diogenus (pemimmpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun
harus membayar jizyah kepada kesultanan
Saljuk. Tujuan alp-Arselan menjalin hubungan dengan Byzantium agar Saljuk lebih mudah mengembangkan kekuatan
politiknya dan meraih program besar, yaitu menyatukan dunia Islam ke
dalam khilafah Islam Sunni.[12]
Pada akhir masa pemerintahan Alp-Arselan, hubungan
kesultanan Saljuk dengan
kesultanan Ghaznawi mulai memburuk karena kematian Tumghaj Khan. Anak Tumghaj, Syams al-Din Nashir berkeinginan
menakhlukkan kesultanan Saljuk.
Pada pemberontakan tersebut Alp-Arselan terbunuh dan kedudukannya sebagai
Sultan Saljuk digantikan oleh anaknya Malik Syah.
Malik Syah (1072-1092 M)
naik tahta menggantikan ayahnya dan ia dibantu
oleh wazir Nidham al-Mulk yang sudah berhubungan dengan ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur
Khurasan. Pada awalnya ia menjadikan
Nisapur sebagai ibukota Saljuk, tetapi kemudian memindahkannya ke Rayy,
ibukota yang lama. Setelah ia naik tahta, ia melakukan tiga hal: pertama,
melakukan sentralisasi kekuasaan politik, kedua,
menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesultanan Saljuk
ke hampir seluruh wilayah Islam.
Selama pemerintahan Malik Syah perbatasan timur kemaharajaan
berhasil dipertahankan bahkan diperluas:
yaitu para penguasa lokal di daerah-daerah ini dipaksa mengakui
keunggulan Malik Syah dan mengirimkan upeti. Setelah
beberapa waktu berlalu hubungan antara Malik Syah, dengan Nidham al-Mulk memburuk dan puncaknya adalah
terbunuhnya Nidham al-Mulk. Tidak lama
setelah kematian wazir Nidham al-Mulk, pada tanggal 15 Syawal 485 H /
1092 M, sultan Malik Syah juga wafat. Posisi Malik Syah, digantikan oleh putra tertuanya Rukn al-Din Barqyaruk.
2. Saljuk Irak (1118 – 10924 M)
Setelah wafatnya Malik Syah pada tahun 1117
M, mulailah muncul perpecahan diantara kerabat Saljuk. Perpecahan
tersebut ditandai dengan munculnya
kesultan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari
kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa pertama kali memisahkan diri. Ia
melepaskan diri dari kekuasaan pamannya,
sultan Sanjar, melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak secara independen dari kekuasaan Saljuk Raya akhirya
dipenuhi dengan menjadikan Mahmud
sebagai waliy al-ahd untuk wilayah yang sama, dengan gelar sultan
di depan namanya. Akan tetapi dia tetap memerintah di Irak atas nama pamannya,
Sanjar, meskipun pada saat yang sama ia
merupakan sultan bagi bangsa Saljuk di Irak.
Sepeninggal Mahmud, gelar sultan jatuh kepada putranya Dawud (1131-1131),
Thugril II (1132-1134), Mas'ud ( 1134-1152). Malik Syah II (1152 –
1153 ), Muhammad II (1153-1159), Sulaiman Syah (1159-1161), Arselan Syah
(1161-1175) dan Thugrul III (1175-1194).
Hampir keseluruhan penguasa
Saljuk di Irak menduduki puncak kekuasaan pada usia yang sangat muda, Mahmud umpamanya, ketika menjadi sultan
Saljuk Irak, ia masih berusia 13 tahun.
Karna itu, penguasa Saljuk Irak hampir dapat dikatakan hanyalah sebagai Penguasa simbolik. Sedangkan secara politik kekuasaan para sultan berada di tangan atabeg[13] (bapak
asuh) dan amir yang mengelilingi sultan dan mengendalikan
administrasi pemerintahan dengan sekehendak hatinya.
3. Saljuk Syiria
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin
Alp-Arselan yang telah mulai
memerintah Syam pada tahun 470 H/ 078
M atas perintah Maliksyah yang
memberinya wilayah kekuasaan di Damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil meluaskan pengaruhnya ke halep
(Aleppo), ar-Raha ( Rayy), Harran (Turki). Azerbaijan dan Hamada sebagai
batu loncatan untuk menguasai Iran. Kareananya,
Tutusy terlibat peperangan dengan Rukn al-Din Barqyaruk, kemenakannya. Barqyaruk tidak kuasa membendung
Tutusy dan ia melarikan diri ke
Isfahan untuk meminta bantuan saudaranya Nashir al-Din Mahmud. Akhimya Tutusy di
bunuh keponakannya pada sebuah pertempuran besar dekat Rayy pada tanggal
7 Safar 488 H / 1095 M.
Sepeniniggal Tutusy, kesultanan Syiria dilanjutkan oleh Ridwan
Fakhr al-Mulk (488 - 507 H/ 1095 - 1113 M), Syams al-Mulk Abu Nashr Duqaq ibn Tutusy
(488-497 H/ 1095 - 1104 M), Taj al-Daulah
Alp-Arselan al-Akhrasy ibn Ridwan (507 H/1113 M), Sultan Syah ibn Ridwan
di bawah pengawasan Bad al-Din lu’lu’. Akhimya
kesultanan Syiria lenyap pada tahun 511 H/1117 M pada masa kekuasaan para atabeg garis keturunan Tubtigin (Buriyyah
) dan para amir Arluqiyyah ).[14]
4. Saljuk
Kirman (1041-1186 M)
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga
Qawurtiyun. Sebutan tersebut diambil dari
pendiri kerajaan Saljuk di wilayah ini, yaitu 'Imad al-Din Kara Arsela Qawurt ibn Chaghri Bek dawud ibn Mikail. Sedangkan
kaitan dengan Dinasti Saljuk adalah
bahwa Qawurt adalah saudara Alp-Arselan ibnn Chaghri Bek yang pergi ke
Kirman dengan kelompok Guzz, sekitar tahun 1041 M.
Beberapa tahun kemudian ia telah menduduki ibu kota Bardasir dan
berhasil mendirikan pemerintahan di daerah
Persia. Setelah merasa kuat, Qawurt menunjukkan sikap menentang terhadap
kekuasaan saudaranya Alp-Arselan tetapi kemudian surut kembali setelah
merasakan keunggulan Alp-Arselan.
Sewaktu Malik Syah naik tahta, Qawurt mencoba
menggulingkannya karna merasa lebih berhak atas tahta itu. Ia menyiapkan
tentara yang besar menuju Rayy unuk
memerangi kemenakannya. tetapi Malik Syah mencegat di Hamadan dan berhasil membunuhnya (466/1074 M).
Malik Syah mengangkat Sultan Syah bin Qawurt sebagai penguasa Kirman sampai
tahun 477 H/ 1084 M. Selanjutnya tahta kesultanan
yang dipegang oleh Turan Syah
(1084-1097 M), Iran Syah (1097-1100),
Arslan Syah (1101-1142 M), Muhammad (1142-1156
M) dan Thugrul Syah (1156-1169).
Sepeninggal Thugrul Syah, tercatat kalau
Saljuk Kirman memiliki tiga orang sultan yang masing-masing mengklaim bahwa dia
adalah pengusa tertinggi. Mereka adalah Bahramsyah. Arslan II dan Turan Syah II.
Akibatnya, Saljuk Kirman dibagi menjadi tiga wilayah, tetapi di antara ketiga
penguasa tersebut, Turan Syah memilik kekuatan
paling besar. Setelah Turan Syah meninggal pada tahun 579 H/ 1183 M), ia
digantikan oleh Muhammad Syah ibn Bahrain Syah (1183-1186 M).[15]
Kehancuran Saljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja
Guzz. yang kemudian berhasil menguasai kesultanan.
Bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186
M). Mulai tahun berikutnya (583 H/1187
M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.
5.
Saljuk
Rum / Asia Kecil
Saljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah
kesultanan kurang lebih 14 orang.
Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya Abu al-Fawaris Qutulmisy bin
Israil bin Saljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mousul, Irak), Diyar Bakr dan Syam pada
masa penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Thrugrul Bek pada 455 H/1063 M dan
naiklah Alp-Arselan, ia melakukan
pemberontakan karna merasa lebih berhak atas jabatan itu. Tetapi ia berhasil di bunuh Alp-Arselan. Atas campur tangan Nizam
al-Mulk, keluarga ini selamat
dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperkenankan memakai
gelar amir.
Selanjutnya,
pimpinan pemerintahan kemudian di pegang oleh Sulaiman bin Qutlumisy yang diberi wewenang mcnguasai Asia
Kecil atas perkenanan dari Malik Syah.
Nama Sulaiman makin terkenal setelah berhasil merebut Antakiyah pada
tahun 477 H/ 1085 M dari tangan orang-orang Philaterus, Armenia.
Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy yang berakhir dengan kematiannya.
Meskipun masa pemerintahan Sulaiman diwarnai oleh banyak
penaklukan. Ada dua hal yang
perlu dicatat dalam sejarah, yaitu: pertama, bangsa Armenia yang tertekan akibat tekanan keagamaan Byzantium, mendapatkan
kebebasan beragama pada masa
Sulaiman bin Quthlumusy. Kedua, tidak lama Setelah ia naik tahta, ia membagikan tanah kepada para petani yang belum
memiliki tanah. Tanah ini dahulunya merupakan
milik pejabat Byzantium. Kebijakan ini memberikan konstribusi penting bagi kehidupan sosial yang harmonis dan mengeliminasi
munculnya aristokrasi para pemilik tanah.[16]
Setelah
Sulaiman ibn Quthlumisy wafat. Malik Syah kemudian mengangkat anak Sulaiman Qilij Arslan I, ia menjalin hubungan dengan kaisar Byzantium sehingga
ia memiliki kebebasan melebarlan pengaruh ke wilayah sebelah timur. Kemudian Qilij kembali ke ibu kota untuk
mempertahankannya dari serangan tentara Salib. Ketika kota ini jatuh ketangan
tentara Salib, Qilij Arslan I memindahkan ibukota
ke Kenya. Setelah itu menjalin kerja sama dengan kaisar Byzantium dalam
melawan tentara salib. Dalam pertempuran hebat dengan tentara Saljuk Raya di
sungai Khabur, Qilij terbunuh.[17]
Secara kronologis para penguasa Saljuk Roma adalah
sebagai berikut: Sulaiman bin Quthlumusy, Qilij
Arslan I (1086-1107 M), Malik Syah dan Mas'ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1156-1192
N1), Rukhnudin Sulaiman II (1196-1204 M),
Qilij Arslan III dun Giyasuddin Kaikhusraw (1204-1210 M), Izzuddin Kaikhusraw I (1210-1219 M), Alaudin
Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin
Kaikhusraw II (1237-1245 M), Izzudin Kaikhusraw III (1246-1256 M ), Rukhnuddin
Qilij Arslan IV (1237-1266 M), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282), Giyasuddir, Mas'ud II dm Alaudin
Kaikobad II (1282 -1302 M).
Turki Saljuk di Anomalia mencapai masa kejayaannya pada
petnerintahan Alaudin Kaikobad (
1219-1237 M ). Ketika itu kawasan Asia berada dalam ancaman penakhlukan bangsa mongol ia membangun tembok yang
melindungi kota Kenya. Dia mempekerjakan armada lautnya dengan
membangun industry kapal di Kolonoros.[18]
Kesultanan
Saljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Dinasti Saljuk yang lain meskipun terjadi banyak pertentangan
intern. Kehancuran dinasti Saljuk Asia
kecil diawali dengan masuknya orang-orang Mongol yang lama kelamaan dapat mengusai pemerintahan, dan akhirnya
mampu merebut kesultanan dihawah pimpinan Gaza Khan.
C.
Kemajuan
yang dicapai Dinasti Saljuk
a.
Bidang Ilmu
Pengetahuan
Pada
masa pemerintahan Alp-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami
kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham
al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai beridirinya Universitas
Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah
seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama,
pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada
masa Malik syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam
bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid
al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam
bidang sastra dan matematika.[19]
b.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada
masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang
sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka
melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya
seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hamper mengusai
seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya
pada masa pemerintahan alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia
Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis,
Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan
dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan
tentaranya untuk menentang tentara alp-Arselan dan mendengar pernyataan
tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan
harga diri dan kaumnya.[20]
c.
Bidang
Pembangunan Fisik
Kaum Dinasti Saljuk sangat suka dan gemar pada bangunan-bangunan besar dan megah, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang dipenuhi hiasan. Karena begitu senangnya dengan karya seni, sulthan-sulthan memberikan perlindungan dan perhatian terhadap hasil karya seni serta memberikan
motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya.
Bangunan yang banyak dibangun adalan jalan-jalan, mesjid jembatan dan saluran
irigasi. Bahkan pada masa alp-Arselan dilakukan pemugaran benteng Bukhara
dan tembok Madinah dan mendirikan sebuah mesjid yang megah dengan dua mahligai yang besar di
Samarkhan, kemudian salah satu mahligai tersebut
dijadikan sekolah.[21]
D. Kemunduran dan Kehancuran
Daulah Abbasiyah
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena
fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti
kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang
melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah
ini.
a. Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam perioderisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namur demikian,
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut.[22]
a.
Perebutan
Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara
itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak
bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada
bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi
orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai
tempat yang mereka diami, sehingga
khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[23]
Setelah
al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat
jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut
oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya
beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[24]
b.
Munculnya
Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda,
seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah
yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah
hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[25]
Ada
kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal,
dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat
untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah dan juga para penguasa Abbasiyah
lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[26]
Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri
adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan
oleh bangsa Persia dan Turki.[27]
Akibatnya
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.
Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi
gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah
di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada
masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259
H), Shafariyah di Fars
(254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad
(320-447).
2.
Yang
berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan
(320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.
Yang
berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.
Yang
berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia
(180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di
Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah
di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.
Yang
Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[28]
c. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
yang keluar, sehingga Baitulmal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang
drastis.[29]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran
ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak
dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin
mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[30]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
d.
Munculnya
Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk
menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha keras
memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah
pada tahun 140 H.[31] Setelah al-Manshur wafat
digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang
Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan
mereka serta melakukan mihnah
dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut,
pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah,
sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah
memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang
juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862
M), kembali memperkenankan orang syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut.[32] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah
Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah
di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran
Islam lainnya seperti perselisihan antara
Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran
negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut
paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [33]
b. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan
faktor-faktor internal kemunduran dan
kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah lemah dan akhimya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah
200.000 orang dari pasukan Alp-Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat
Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul
Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah ke sana. Pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib. Perang
salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak
menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan
peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli
dan kota Tyre.[34]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia
banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja
Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlulkitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerussalem.[35]
2. Serangan Mongolia Ke Negeri
Muslim dan Berak-himya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah.
Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan
oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui sahara yang dikenal keras kepala dan suka
berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Baghdad dan
Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai
negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[36] Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum
kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah
luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka
pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerang untuk menghancurkan tembok ibukota.[37] Sementara itu Khalifah
al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat
ke base camp pasukan mongolia.
Setelah itu para pemimpin dan fuqaha
juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan
pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan
kota, dan membakamya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang
dimainkan oleh seorang Syi’i Rafidhah yaitu Ibn ‘al-Qami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang
Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.[38]
E. Kesimpulan
Dinasti Saljuk dirintis oleh Saljuk ibn Tuqaq, yang
kemudian diproklamirkan pada
masa Thugrul Bek yang mendapat legalitas dari khalifah al-Qaim. Dinasti Saljuk merupakan Dinasti yang berkuasa pada masa kekhalifahan Daulah Bani Abbasiyah.
Dinasti Saljuk terbagi kepada 5 cabang yaitu, Saljuk Agung
(Raya), Saljuk Kirman, Saljuk Syria, Saljuk Irak dan Saljuk Rum atau Asia Kecil.
Dinasti Saljuk memberikan kontribusi yang besar terhadap peradaban Islam, kemajuan yang dicapai pada era ini menjadikan dunia Islam
sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban,
kemajuan tersebut meliputi kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan dalam bidang sosial politik dan
kemajuan di bidang seni dan arsitektur. Dinasti Saljuk mengalami kemunduran yang membawa
kepada kehancuran disebabkan oleh faktor internal, terjadi perebutan
kekuasaan antara anggota keluarga.
Ini merupakan benih perpecahan yang ditanam sendiri dengan membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa bagian.
Disamping itu faktor ekstemal juga mempunyai
andil yang signifikan dalam hal ini yaitu terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh tentara Romawi.
Kehancuran
Dinasti Saljuk /Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah
secara nyata, walaupun 400 tahun sebelum itu benih-benih kemunduran Daulah Abbasiyah ini sudah
terlihat Ada beberapa faktor yang melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah yaitu
faktor internal seperti perebutan
kekuasaan, munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, kemerosotan
dalam bidang ekonomi serta munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme
keagamaan. Di samping faktor intemal tersebut, faktor eksternal juga tidak
kalah penting dalam mewujudkan kehancuran Daulah Abbasiyah seperti perang
salib dan serangan dari tentara mongol yang meluluhlantakkan Baghdad. Dengan
jatuhnya Baghdad ke tangan tentara mongol maka kondisi tersebut dianggap sebagai akhir kekuasaan Daulah
Abbasiyah.
[1] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo: 2006), h. 64
[2] Ibid.,
h. 65
[3] Syafiq
A. Mughni dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam di Turki lebih sering
menggunakan kata “Dukak” untuk menyebut Saljuk ibn Tukak, sedangkan dalam
literature lain nama Saljuk yang familiar adalah Saljuk ibn Tukak dan penulis
memilih ini.
[4] Syafiq
A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di
Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 13
[5] Ibid,
h. 14
[6] Ibid
[7] Badri
Yatim, op. cit., h.73
[8] Safiq A.
Mughni. Op.cit, h. 15
[9] Ibid.
[10]
A Syalabi, op.cit., h 337
[11] W. Montgomery Watt, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis Orientalis, alih bahasa oleh Hartono Hadikusumo
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990)., h.246
[12] Syafiq A. Mughni, op.cit,
h.20
[13] Tradisi atabeg merupakan tradisi kuno masyarakat Turki,
sultan diasuh dan dibesarkan oleh orang-orang Turki terkemuka yang disebut
atabeg. Masing-masing atabeg berusaha memperjuangkan jabatan Sultan bagi pangeran yang diasuhnya dalam rangka meningkatkan
prestise dirinya. Lih. Ensiklopedi Islam,
h. 264
[14] Syafiq A mughni, op.cit.,
h 29
[18] Abu
Su’ud, Islamologi, (Jakarta:PT.
Rineka Cipta, 2003)., cet.I., h.81
[19] Badri
Yatim, op.cit., h. 76
[20] Ahmad
Syalabi, loc.cit.
[21] Ibid., h.351
[22] Badri Yatim, op.cit., h. 80
[23] Yusuf al-Isy, Tarikh ‘Ashy
al-Khilafah al-Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007)., h. 102-104
[24] Badari Yatim , op.cit., h. 50
[25] Ibid., h. 63., Lih.
Sir William Muir, The Caliphat, (New
York: AMS Inc, 1975)., h.432
[26] Ibid.
[27] Yusuf al-Isy,
op.cit., h. 137
[28] Badari
Yatim , op.cit, h. 261- 297
[29] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. R.
Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008).,
h. 436 dan h. 618
[30] Badari Yatim , op.cit. h. 82 Lih. Ahmad Amin, Dhuha
al-Islam, Jil. I, (Kairo: Lajnah al-Ta’lifwa
al-Nasyr)
[31] Ahmad al-Usyairy, at-Tarikh al-Islami, Terj. Samson
Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003)., h. 224
[32] Badari
Yatim , op.cit. h. 83
[33] Ibid.
h. 84
[34] Ibid.
h. 76-79
[35] Ibid, h. 85 Lih. Sir William Muir, Ibid.
[36] Ahmad al-Usyairy, op.cit., h.
258
[37] Philip
K. Hirai, op.cit., h. 619
[38] Ahmad al-Usyairy, op.cit.,
h.259
0 komentar :