KHAWARIJ: Kemunculan, Sekte dan Pemikiran radikal dan moderat
A.
Pendahuluan
Sebagai salah satu ilmu
ke-Islam-an, Ilmu kalam sangatlah penting untuk di ketahui oleh seorang muslim
yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah pembahasan tentang aqidah
dalam Islam yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini
memiliki konsekwensi yang berpengaruh pada keyakinan yang berkaitan dengan
bagaimana seseorang harus meng interpretasikan Tuhan itu sebagai sembahannya
hingga terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik).
Dalam Agama Islam, aqidah dianggap sebagai bahasan yang cukup penting. Namun dalam kenyataanya, masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik. Hal ini didasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu diawali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Problematika teologi dalam Islam mulai muncul sejak wafatnya
Nabi, tepatnya sejak terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman ibn ‘Affan dan
pengangkatan ‘Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Pada masa ini,
perbedaan pendapat yang awalnya berorientasi pada politik, berujung pada
persoalan aqidah. Dalam sejarah perkembangan Islam sejak dahulu kala telah
terjadi perpecahan, Khawarij merupakan salah satu contoh yang dimaksud. Ia
merupakan satu kelompok yang besar dan mereka tergambarkan sebagai satu gerakan
revolusi berdarah dalam sejarah Islam, kemudian merekapun sempat berhasil
menebar kekuasaan politik mereka pada wilayah-wilayah yang luas dari
negera-negera Islam di Timur dan Barat, khususnya di Omaan, Hadromaut, Zanzibar
(Tanzania) dan sekitarnya dari wilayah Afrika dan Maghrib Arab (Maroko,
Aljazair, Tunis dan Libia) dan sampai sekarang mereka masih memiliki s’aqafah
yang terwakili oleh sekte Al-Iba>diyah yang tersebar di wilayah-wilayah
tersebut, mereka juga memiliki satu kesultanan yaitu kesultanan Omaan.
A. Pengertian dan Sejarah Munculnya Khawarij
1. Pengertian Khawarij
Istilah Khawarij berasal dari bahasa Arab “kharaja” yang
berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Nama itu diberikan kepada
mereka yang keluar dari barisan ‘Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju
terhadap sikap ‘Ali ibn Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Menurut
al-Shahrasta>ni>, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang
keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar
pada masa sahabat Khulafa> al Ra>shidi>n, maupun pada masa tabi’in
secara baik-baik.
Kaum Khawarij juga dikenal sebagai kelompok yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh komunitas Muslim. Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan ‘Ali.
2. Munculnya Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Ami>r al-Mu’mini>n ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Ami>r al-Mu’mini>n ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, ‘Ali sudah mengirim Jarir ibn ‘Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal, yaitu:
1. Ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku
pembunuhan Ami>r al Mu’mini>n ‘Utsman ibn ‘Affan.
2. Pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
2. Pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan
untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya
memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Jika
memang mereka siap mati untuk membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka
lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh.
Tetapi setelah ‘Ali mencapai
kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang
‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri
mereka sendiri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria
menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang
‘Ali.Sehingga pada masa itu, peperangan tidak lagi dapat dihindari antara kubu
Ali ibn Abi Thalib dan kubu Muawiyah.
Pada kubu Ali terdapat kelompok Qurra’ yang berdiri dibelakang barisan ‘Ali. Namun ketika Ali dianggap menerima arbitrase (Tahkîm) yang terjadi pada perang Shiffin, mereka berbalik menentang Tahkîm, padahal tadinya mereka juga mendesak ‘Ali menerima Tahkîm. Mereka kemukakan alasan-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap politik mereka. Menurut mereka, Tahkîm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas.
Mereka yakin kubu
‘Ali lah (dalam konflik dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar.
Kubu ‘Ali yang beriman. Tahkîm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak.
Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan Lâ hukma illa> li
Allah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).
Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia
telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan hasil
kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali
berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh
dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali
mengingkari janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia
mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik
semenjak beriman.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih ‘Abdullah ibn Wahb ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar).
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin
membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah
mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa
yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan
mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi
meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat.
Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai
4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak
menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia
mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak
mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn
Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian
putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut :
“Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang
Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si
Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!”
Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya
bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka
menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di
pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu
mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji
kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai ‘Ali
sebelum Tahkîm dan mengenai ‘Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?”
‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih
bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab,
“Sesungguhnya ‘Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua,
lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya
daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti
hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka
menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana.
Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki
Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon
kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa
kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan
keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti
‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali
dengan harga”.
‘Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masing-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang
terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian
menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota
keluarganya terbunuh di Nahrawan.
Memang karena peristiwa Nahrawan ini,
walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada
di daerah tersebut, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke
Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan
yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya.
Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat
menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal (lemah lembut dan
‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu, ia tidak mampu membujuk
apalagi menumpas habis Khawarij.Bahkan pada masa berikutnya Khawarij mengalami
perkembangan hingga terpecah menjadi beberapa sekte. Beberapa sekte penting
dalam aliran Khawarij, yaitu:
a. Al Muhakkimah al Ula
b. Al Azriqah
c. An Najdat
d. Al Baihasiyah
e. Al Ajaridah
f. Al Saalabiyah
g. Al Abadiyah
h. Al Sufriyah
a. Al Muhakkimah al Ula
b. Al Azriqah
c. An Najdat
d. Al Baihasiyah
e. Al Ajaridah
f. Al Saalabiyah
g. Al Abadiyah
h. Al Sufriyah
B. Pemikiran-pemikiran Khawarij
Di antara doktrin-doktrin pokok pimikiran Khawarij secra umum adalah sebagai berikut :
1. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh
seluruh kaum Islam.
2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan
demikian setiap orang Muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi
syarat.
3. Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni
mengetahui Allah dan Rasulnya.
4. Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi besar dan pelakunya menjadi musyrik.
5. Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berjina adalah kafir dan selama masuk neraka.
6. Orang yang masuk neraka tidak akan pernah keluar lagi untuk selamanya.
7. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasabihat ( samar ).
8. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
9. Al-Qur’an adalah makhluk.
10. Pasukan perang jamal yang melawan Ali adalah kafir.
11. Khalifah ‘Ali r.a. adalah sah tetapi setelah terjadi atbitrase, ia dianggap menyeleweng,dll baik dalam akidah
4. Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi besar dan pelakunya menjadi musyrik.
5. Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berjina adalah kafir dan selama masuk neraka.
6. Orang yang masuk neraka tidak akan pernah keluar lagi untuk selamanya.
7. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasabihat ( samar ).
8. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
9. Al-Qur’an adalah makhluk.
10. Pasukan perang jamal yang melawan Ali adalah kafir.
11. Khalifah ‘Ali r.a. adalah sah tetapi setelah terjadi atbitrase, ia dianggap menyeleweng,dll baik dalam akidah
Dr.Nasir bin Abdul Karim al-Aql dalam kitabnya “Al-Khawarij”menyatakan bahwa sifat-sifat Khawarij adalah :
1. Mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar dan menghukum
kaum Muslimin yang tidak sepaham dengan mereka dengan kafir.
2. Tidak mengikuti ulama-ulama kaum Muslimin baik dalam akidah maupun dalam amalan.
3. Keluar dari jamaah kaum Muslimin, dan melakukan muamalah dengan kaum Muslimin sebagaimana muamalah dengan kafir, serta menghalalkan harta dan darah mereka.
4. Mamakai nas-nas amar makruf dan nahi munkar kepada pendapat-pendat para ulama dan menghina mereka dan membunuh siapa yang berbeda pendapat dengan mereka.
5. Mayoritas mereka sibuk dengan membaca Al-Qur’an tanpa memahaminya dengan pemahaman yang baik.
6. Menampakkan tanda-tanda yang zahir dalam ibadah dan berlebih-lebihan dalam ibadah sehingga menghina ibadah kelompok yang lain.
7. Lemah dalam ilmu fiqih dan seluk beluk hukum syariat .
8. Berpendapat tanpa rujukan kepada sahabat,atau ulama fiqih.
9. Merasa lebih hebat dari pada ulama terdahulu, sehingga kadang-kadang merasa lebih hebat dari pada ulama mujtahidin dan sahabat.
10. Keliru dalam metodologi mengambil keputusan hukum sehingga mengmbil ancaman tanpa melihat ayat-ayat janji;mengambil ayat-ayat yang untuk orang kafir ditujukan kepada orang Muslim yang tidak sepaham dengan mereka sebagaiman disebutkan oleh ibnu Umar; mereka mengambil ayat untuk orang kafir ditujukan kepada orang Muslim.
11. Kurang ilmu dengan sunnah dan hadist Nabi yang sangat luas, dan hanya mengambil yang sesuai dengan pemahaman mereka saja.
12. Menganggap setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka salah dan sesat, tanpa meneliti lebih mendalam.
13. Memutuskan sesuatu tanpa ilmu yang mendalam, dan kajian yang luas.
14. Bersikap kasar, keras, tanpa memahami keadaan orang lain, dan suka bertengkar dengan orang lain.
15. Menghukum sesuatu hanya dengan anggapan dan su’dzan.
16. Tidak memiliki wawasan yang luas, berpikiran sempit, tidak sabar, dan ingin mendapatkan natijah amal dengan segera.
17. Memusuhi dan memerangi sesama kaum Muslimin, dan membiarkan kaum kafir serta kaum penyembah berhala.
2. Tidak mengikuti ulama-ulama kaum Muslimin baik dalam akidah maupun dalam amalan.
3. Keluar dari jamaah kaum Muslimin, dan melakukan muamalah dengan kaum Muslimin sebagaimana muamalah dengan kafir, serta menghalalkan harta dan darah mereka.
4. Mamakai nas-nas amar makruf dan nahi munkar kepada pendapat-pendat para ulama dan menghina mereka dan membunuh siapa yang berbeda pendapat dengan mereka.
5. Mayoritas mereka sibuk dengan membaca Al-Qur’an tanpa memahaminya dengan pemahaman yang baik.
6. Menampakkan tanda-tanda yang zahir dalam ibadah dan berlebih-lebihan dalam ibadah sehingga menghina ibadah kelompok yang lain.
7. Lemah dalam ilmu fiqih dan seluk beluk hukum syariat .
8. Berpendapat tanpa rujukan kepada sahabat,atau ulama fiqih.
9. Merasa lebih hebat dari pada ulama terdahulu, sehingga kadang-kadang merasa lebih hebat dari pada ulama mujtahidin dan sahabat.
10. Keliru dalam metodologi mengambil keputusan hukum sehingga mengmbil ancaman tanpa melihat ayat-ayat janji;mengambil ayat-ayat yang untuk orang kafir ditujukan kepada orang Muslim yang tidak sepaham dengan mereka sebagaiman disebutkan oleh ibnu Umar; mereka mengambil ayat untuk orang kafir ditujukan kepada orang Muslim.
11. Kurang ilmu dengan sunnah dan hadist Nabi yang sangat luas, dan hanya mengambil yang sesuai dengan pemahaman mereka saja.
12. Menganggap setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka salah dan sesat, tanpa meneliti lebih mendalam.
13. Memutuskan sesuatu tanpa ilmu yang mendalam, dan kajian yang luas.
14. Bersikap kasar, keras, tanpa memahami keadaan orang lain, dan suka bertengkar dengan orang lain.
15. Menghukum sesuatu hanya dengan anggapan dan su’dzan.
16. Tidak memiliki wawasan yang luas, berpikiran sempit, tidak sabar, dan ingin mendapatkan natijah amal dengan segera.
17. Memusuhi dan memerangi sesama kaum Muslimin, dan membiarkan kaum kafir serta kaum penyembah berhala.
3. Faham-fahamnya
Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya, menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Alquran, mereka berusaha mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
1. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
2. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
3. Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
5. Mereka menerima Alquran sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
3. Sekte-sekte
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak.
Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum
Khawarij lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer
Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun. Sekte-sekte Khawarij
tersebut antara lain, al-Azariqah, al-Ibadiah, al-Muhakkimah, al-Najdat,
al-Jaridah, al-Sufriyah, dan Yazidiyah.
Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij, yakni :
a. Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
KESIMPULAN
Khawarij secara umum merupakan orang Arab pedesan yang jauh dari ilmu pengetahuan, sederhana dalam berpikir, sempit pandangan, keras hati dan bengis. Mereka dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan indah, tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya, sehingga menampilkan pemikiran yang berbeda dari sekian sekte-sekte yang muncul. Perbedaan pemikiran ini banyak dipicu oleh faktor kepentingan antar sekte.
0 komentar :